Senin, 31 Oktober 2011

Pendorong Semangatku

Aku lelah. Bingung. Frustasi. Galau. Senang bagai melayang di udara. Mungkin kata-kata itulah yang tepat untuk menggambarkan suasana hatiku. Suasana hati seorang anak manusia yang menjalani fase terpenting dalam hidupnya. Kehidupan remaja.
            Entah mengapa, memasuki masa ini perjuanganku terasa semakin berat. Seperti melewati batas kemampuan yang ku bisa. Ingin aku segera melewati masa ini dan segera dewasa. Tetapi, orang dewasa bilang masa remaja adalah masa yang paling indah yang harus dinikmati dan mereka rasanya ingin kembali sebagai remaja lagi. Tak tahu mengapa, memang itulah remaja. Indah dan menyenangkan serta sedih memilukan. Inilah fase yang paling indah untuk diceritakan pada anak cucu saat tua nanti. Kembali ke masalah ‘mengapa masa remaja terasa semakin berat’. Memang sewaktu menduduki sekolah dasar aku dan teman-teman yang lain juga bersaing ketat, mencoba meraih sebuah peringkat. Mungkin karena godaan anak SD dan SMP jauh lebih beragam SMP. Waktu sekolah dasar godaan yang terberat adalah bermain game atau yang lebih tepatnya ketagihan sehingga tidak fokus dalam pelajaran. Semua godaan itupun dapatku halau. Yaa hasilnya lumayan dan bisa untuk dibanggakan.
            Dan mampu untuk mendaftarkan diri ke sekolah yang menjadi idaman semua orang. Yang terkenal dengan mutu pendidikan yang super dan difasilitasi alat bantu pembelajaran yang lengkap. Begitu memasuki sekolah ini mataku terbuka lebih lebar, para pesaing semakin banyak. Dan rasanya aku bukanlah tandingan yang tepat. Rasanya masih jauh. Aku berusaha lebih keras. Sepertinya sekolah hanya mengenal mereka yang dapat memberikan piala untuknya. Jujur, sampai saat ini belum pernah aku mendapat suatu piala untuk dipajang di rumah. Pernah mendapat sekali, tetapi itu juga berkelompok tiada piala yang ku dapat untuk diri sendiri. Walaupun begitu, bukan berarti aku tidak pernah mendapat juara. Sudah banyak lomba yang ku ikuti, sering pula aku menang. Yang ku dapat hanyalah setumpuk buku tulis. Sampai-sampai buku tulis kosong menggunung. Tapi itu bukan piala. Aku mencoba mengambil hikmah di baliknya. Setiap kenaikan kelas tidak perlu merepotkan orang tua untuk membeli buku. Hehehe…