Selasa, 23 Mei 2017

Ketika perempuan ingin dimengerti
Hi lama sudah rasanya saya tidak posting . Sebenarnya artikel ini dipakai untuk lomba tapi  karena sudah beberapa waktu terlewat dan sudah pengumuman juga  ya akhirnya saya meresa sah untuk diposting di blog pribadi. Then here we go.... selamat membaca :)

Salahkah Aku Lahir Sebagai Perempuan?
Karena menjadi Perempuan Bukanlah Takdir Buruk

Masih hangat dalam benak kita tentang perdebatan calon presiden Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Ada yang baru dari tradisi yaitu salah calon presidennya merupakan seorang perempuan. Meskipun tidak keluar sebagai presiden, keberadaan Hillary cukup menunjukkan eksistensi perempuan dalam kesetaraan dan hak pada pemerintahan. Hal ini menyatakan keberhasilan dari bentuk paham feminisme.
 Feminisme hadir sebagai bentuk protes kaum perempuan terhadap ketidakadilan yang mereka dapatkan baik dari pemerintah maupun lingkungan sosial. Sejak berabad-abad lalu sudah ada anggapan bahwa perempuan merupakan warga kelas dua atau second line. Perempuan lebih sering dianggap sebagai sebuah objek daripada manusia yang seharusnya mempunyai kesamaan hak seperti laki-laki, hal ini juga didukung dengan adanya paham partriarki yang menempatkan laki-laki memiliki otoritas dalam organisasi sosial. Masih banyak budaya masyarakat yang membuat hak-hak perempuan kemudian menjadi terbaikan, sebagai contoh yaitu terdapatnya tradisi Hindu di India yang bernama Sati. Filosofi dari upacara ini memiliki makna yang dalam yaitu sebagai bentuk kesetian istri kepada sang suami yang telah pergi yaitu turut membakar diri ke dalam api jenaszah hingga mati. Namun demikian upacara ini telah mengabaikan hak istri untuk melanjutkan kehidupannya setelah kematian sang suami. Beruntung  upacara seperti ini sudah dilarang. Ada juga hal yang lebih ekstrim seperti selective abortion dimana orang tua secara legal mengaborsi anaknya apabila jenis kelamin tersebut tidak sesuai dengan harapan keluarga dan pada kasus ini jenis kelamin perempuanlah yang banyak menjadi korban karena dianggap akan menjadi beban keluarga dikemudian hari. Lihatlah bahkan diskriminasi sudah terjadi pada perempuan sebelum ia hadir ke dunia. Oleh karena itu banyak aktivis perempuan yang hadir untuk membuat keberadaan perempuan setara dengan laki-laki. Tetapi apakah bentuk ketidaksetaraan hak antara laki-laki dan perempuan masih terjadi?  Tentu saja masih.
Perempuan masih dianggap warga kelas dua, selain pembuktian secara ilmiah bahwa fisik laki-laki lebih kuat dari pada perempuan paradigma masyarakat yang menganggap perempuan itu hanya bertugas mengurusi hal-hal rumah tangga dan laki-lakilah yang lebih pantas mendapatkan hal yang prestise seperti bekerja dan menempuh pendidikan secara tak sadar mempengaruhi alam bawah sadar kita. Masih ingatkah kita tentang pelajaran Bahasa Indonesia yang menerangkan bahwa ayah pergi bekerja dan ibu pergi ke pasar? Dan jika ditanya secara tidak sadar ketika seseorang menyodorkan kalimat “ayah pergi ke kantor, ibu ke ?” secara sepontan mayoritas akan mejawab ke pasar. Secara tidak langsung  hal ini mengajarkan bahwa perempuan hanya bertugas mengurusi dapur, kasur, dan sumur. Padahal jika dipikir ibu pun dapat melakukan hal yang sama seperti yang ayah lakukan.
Di Indonesia pada era sebelum kemerdekaan juga terjadi bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap perempuan seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, hanya perempuan dari kaum bangsawan yang dapat mengeyam pendidikan. Namun sekali lagi hak perempuan juga dibatasi yaitu hanya sebatas mampu mengenyam hingga jenjang sekolah dasar. Lalu bagaimana dengan keadaan perempuan setelah Indonesia merdeka? Masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan khususnya dalam pekerjaan. Sekali lagi, hak perempuan menjadi terbatas karena adanya anggapan terhadap perempuan lebih mengutamakan perasaan daripada logika sehingga membuat beberapa perusahaan akan berpikir dua kali dalam menerima karyawan. Nilai dan kebiasaan pada mayarakatlah sesungguhnya yang telah membatasi hak-hak perempuan. Akan tetapi dewasa ini nilai-nilai tersebut telah bergerser, sudah banyak kita temui wanita karir yang mampu menghidupi dirinya dan keluarganya tanpa tergantung pada pria. Masyarakat telah mengakui kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan. Hal itu tak luput dari perjuangan keras para perempuan untuk memperjuangkan haknya dan berusaha menempatkan laki-laki dan perempuan pada derajat yang sama yang telah kita sebutkan di atas sebagai paham feminisme. paham ini telah membawa gerakan baru seperti terjadinya desakan terhadap pemerintah Indonesia tentang kuota sebanyak 30% bagi perempuan dalam parlemen.
Feminisme telah hadir membawa dampak besar bagi kehidupan perempuan sekarang. Terlepas dari jenis dan macamnya makna dari feminisme adalah menjadikan perempuan setara dengan laki-laki bahkan sama seperti laki-laki kedudukannya. Lalu bagaimana mana jika paham tentang feminisme itu dilihat dari sudut pandang agama dan bagaimana agama dalam memandang wanita? Pada abad pertengahan Eropa para filsuf Eropa mulai mengkritik kebijakan gereja pada saat itu yang diskriminatif terhadap perempuan. Karena adanya anggapan bahwa perempuan merupakan jelmaan setan atau iblis. Menguktip dari buku Felix Siauw sedikit diterangkan disana bahwa dalam agama Yahudi Konservatif menganggap perempuan tidak lebih dari seorang pembantu yang tidak mempunyai hak waris dan bahkan jika mereka hanya memiliki anak perempuan maka ayahnya berhak untuk menjual anak tersebut. Sedangkan dalam Islam konsep kesetaraan telah ada sebelum gerakan feminisme itu hadir. Dan ketika feminisme mulai digerakkan ada beberapa organisasi masyarakat yang tidak menyetujui terhadap gerakan ini karena dianggap merupakan bentuk lain dari komunisme dan menyalahi kodrat wanita dalam Islam. Di sini saya berpendapat bahwa sebenarnya feminisme itu dapat dibalut dengan bingkai agama khususnya Islam agar lebih terarah. Karena beberapa hal sebagai berikut:
1)      Islam mengedepankan kesetaraan
Feminisme atau kesetaraan itu sudah ada seperti pemerhatian hak serta auratnya bahkan dalam hal hukuman juga demikian. Seperti yang diterangkan dalam QS. An-Nahl ayat 97 yang berbunyi:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Dan masih banyak lagi hal yang diatur tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Islam. Tetapi dalam hal keluarga tetaplah seorang laki-laki yang menjadi sebuah pemimpin keluarga (qawwam). Dalam hal ini Islam tidak menjadikan laki-laki otoriter terhadap istrinya, karena musyawarah tetap diperlukan untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.  
Pada zaman dulu kesaksian seorang laki-laki sebanding dengan dua orang perempuan. Bahkan dalam dalam ayat al-quran juga diterangkan pada QS Al-Baqarah ayat 282. Menelaah dari jumlah perbandingan yang berbeda ini dikarenakan pada saat itu lelakilah yang mendapatkan pendidikan atau terpelajar sedangkan perempuan hanya berada di rumah sehingga kesakisannya dianggap lemah. Oleh karena itu dibutuhkan seorang perempuan lagi untuk mendukung kesaksian seorang perempuan tersebut. Tetapi dewasa ini kaum perempuan sudah mendapatkan pendidikan dan terpelajar sehingga kesaksiannya setara dengan seorang laki-laki. Dan bahkan jika dalam persidangan dihadapkan pada seorang saksi perempuan yang terpelajar dengan lelaki yang tidak terpelajar hal ini dapat terjadi sebaliknya yaitu membutuhkan seseorang yang lain untuk memperkuat kesaksian lelaki tersebut. Pada hal ini Islam sangat terbuka dengan sebab dan akibat.
2)      Feminisme yang keliru
Seperti yang telah disebutkan bahwa ada yang tidak setuju dengan gerakan feminisme karena bentuk lain dari komunisme. Jika kita perhatikan tentang sejarah perkembangan paham feminisme yang dapat kita lihat dari gelombang-gelombang gerakan feminisme yang terjadi. Pada awal pergerakannya paham ini menuntut adanya hak perempuan seperti kesempatan yang sama dalam pendidikan, gaji, dan lain sebagainya. Kemudian yang kedua dan ketiga masih berjalan sesuai dengan tujuan awal gerakan ini dibuat yaitu memperjuangkan hak perempuan untuk setara. Sebaliknya hal-hal yang menyimpang sudah mulai terjadi seperti untuk bernampilan sama dengan laki-laki misalnya saja legal untuk bertelanjang dada. Hal-hal seperti inilah yang dikhawatirkan bahwa keberadaan paham feminisme dapat mengancam agama.


          Melihat dari paham feminisme dan agama, gerakan feminisme itu sudah selayaknya dibalut dengan norma-norma yang berlaku dalam agama karena sebenarnya agama sendiri pun telah mengajarkan tentang feminisme. Yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan yang sama di mata Tuhan. Lelaki dan perempuan mempunyai hak dan kemampuan yang sama. Dewasa ini telah banyak kita jumpai kaum perempuan yang mempunyai kapabilitas yang sama seperti laki-laki bahkan lebih unggul misalnya dalam menduduki suatu jabatan tertentu. Oleh karena itu paradigma yang menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua perlu dihapuskan, lingkunganlah yang telah membunuh karakter perempuan sehingga agama datang untuk memperbaiki kekeliruan tersebut.