![]() |
Ketika perempuan ingin dimengerti |
Salahkah
Aku Lahir Sebagai Perempuan?
Karena menjadi Perempuan
Bukanlah Takdir Buruk
Masih hangat dalam benak kita tentang perdebatan calon
presiden Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Ada yang baru dari tradisi yaitu
salah calon presidennya merupakan seorang perempuan. Meskipun tidak keluar
sebagai presiden, keberadaan Hillary cukup menunjukkan eksistensi perempuan
dalam kesetaraan dan hak pada pemerintahan. Hal ini menyatakan keberhasilan
dari bentuk paham feminisme.
Feminisme hadir sebagai bentuk protes
kaum perempuan terhadap ketidakadilan yang mereka dapatkan baik dari pemerintah
maupun lingkungan sosial. Sejak berabad-abad lalu sudah ada anggapan bahwa
perempuan merupakan warga kelas dua atau second
line. Perempuan lebih sering dianggap sebagai sebuah objek daripada manusia
yang seharusnya mempunyai kesamaan hak seperti laki-laki, hal ini juga didukung
dengan adanya paham partriarki yang menempatkan laki-laki memiliki otoritas
dalam organisasi sosial. Masih banyak budaya masyarakat yang membuat hak-hak
perempuan kemudian menjadi terbaikan, sebagai contoh yaitu terdapatnya tradisi
Hindu di India yang bernama Sati. Filosofi dari upacara ini memiliki makna yang
dalam yaitu sebagai bentuk kesetian istri kepada sang suami yang telah pergi
yaitu turut membakar diri ke dalam api jenaszah hingga mati. Namun demikian
upacara ini telah mengabaikan hak istri untuk melanjutkan kehidupannya setelah
kematian sang suami. Beruntung upacara
seperti ini sudah dilarang. Ada juga hal yang lebih ekstrim seperti selective abortion dimana orang tua
secara legal mengaborsi anaknya apabila jenis kelamin tersebut tidak sesuai
dengan harapan keluarga dan pada kasus ini jenis kelamin perempuanlah yang
banyak menjadi korban karena dianggap akan menjadi beban keluarga dikemudian
hari. Lihatlah bahkan diskriminasi sudah terjadi pada perempuan sebelum ia
hadir ke dunia. Oleh karena itu banyak aktivis perempuan yang hadir untuk
membuat keberadaan perempuan setara dengan laki-laki. Tetapi apakah bentuk
ketidaksetaraan hak antara laki-laki dan perempuan masih terjadi? Tentu saja masih.
Perempuan masih dianggap warga kelas dua, selain pembuktian secara ilmiah
bahwa fisik laki-laki lebih kuat dari pada perempuan paradigma masyarakat yang
menganggap perempuan itu hanya bertugas mengurusi hal-hal rumah tangga dan
laki-lakilah yang lebih pantas mendapatkan hal yang prestise seperti bekerja
dan menempuh pendidikan secara tak sadar mempengaruhi alam bawah sadar kita.
Masih ingatkah kita tentang pelajaran Bahasa Indonesia yang menerangkan bahwa
ayah pergi bekerja dan ibu pergi ke pasar? Dan jika ditanya secara tidak sadar
ketika seseorang menyodorkan kalimat “ayah
pergi ke kantor, ibu ke ?” secara sepontan mayoritas akan mejawab ke pasar.
Secara tidak langsung hal ini
mengajarkan bahwa perempuan hanya bertugas mengurusi dapur, kasur, dan sumur.
Padahal jika dipikir ibu pun dapat melakukan hal yang sama seperti yang ayah
lakukan.
Di Indonesia pada era sebelum kemerdekaan juga terjadi bentuk-bentuk
ketidakadilan terhadap perempuan seperti hak untuk mendapatkan pendidikan,
hanya perempuan dari kaum bangsawan yang dapat mengeyam pendidikan. Namun
sekali lagi hak perempuan juga dibatasi yaitu hanya sebatas mampu mengenyam
hingga jenjang sekolah dasar. Lalu bagaimana dengan keadaan perempuan setelah
Indonesia merdeka? Masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan khususnya
dalam pekerjaan. Sekali lagi, hak perempuan menjadi terbatas karena adanya
anggapan terhadap perempuan lebih mengutamakan perasaan daripada logika
sehingga membuat beberapa perusahaan akan berpikir dua kali dalam menerima
karyawan. Nilai dan kebiasaan pada mayarakatlah sesungguhnya yang telah
membatasi hak-hak perempuan. Akan tetapi dewasa ini nilai-nilai tersebut telah
bergerser, sudah banyak kita temui wanita karir yang mampu menghidupi dirinya
dan keluarganya tanpa tergantung pada pria. Masyarakat telah mengakui
kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan. Hal itu tak luput dari
perjuangan keras para perempuan untuk memperjuangkan haknya dan berusaha
menempatkan laki-laki dan perempuan pada derajat yang sama yang telah kita
sebutkan di atas sebagai paham feminisme. paham ini telah membawa gerakan baru
seperti terjadinya desakan terhadap pemerintah Indonesia tentang kuota sebanyak
30% bagi perempuan dalam parlemen.
Feminisme telah hadir membawa dampak besar bagi kehidupan perempuan sekarang.
Terlepas dari jenis dan macamnya makna dari feminisme adalah menjadikan
perempuan setara dengan laki-laki bahkan sama seperti laki-laki kedudukannya.
Lalu bagaimana mana jika paham tentang feminisme itu dilihat dari sudut pandang
agama dan bagaimana agama dalam memandang wanita? Pada abad pertengahan Eropa
para filsuf Eropa mulai mengkritik kebijakan gereja pada saat itu yang
diskriminatif terhadap perempuan. Karena adanya anggapan bahwa perempuan
merupakan jelmaan setan atau iblis. Menguktip dari buku Felix Siauw sedikit
diterangkan disana bahwa dalam agama Yahudi Konservatif menganggap perempuan
tidak lebih dari seorang pembantu yang tidak mempunyai hak waris dan bahkan
jika mereka hanya memiliki anak perempuan maka ayahnya berhak untuk menjual
anak tersebut. Sedangkan dalam Islam konsep kesetaraan telah ada sebelum
gerakan feminisme itu hadir. Dan ketika feminisme mulai digerakkan ada beberapa
organisasi masyarakat yang tidak menyetujui terhadap gerakan ini karena
dianggap merupakan bentuk lain dari komunisme dan menyalahi kodrat wanita dalam
Islam. Di sini saya berpendapat bahwa sebenarnya feminisme itu dapat dibalut
dengan bingkai agama khususnya Islam agar lebih terarah. Karena beberapa hal
sebagai berikut:
1) Islam
mengedepankan kesetaraan
Feminisme
atau kesetaraan itu sudah ada seperti pemerhatian hak serta auratnya bahkan
dalam hal hukuman juga demikian. Seperti yang diterangkan dalam QS. An-Nahl
ayat 97 yang berbunyi:
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Dan masih banyak lagi hal yang diatur tentang
kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Islam. Tetapi dalam hal keluarga
tetaplah seorang laki-laki yang menjadi sebuah pemimpin keluarga (qawwam). Dalam
hal ini Islam tidak menjadikan laki-laki otoriter terhadap istrinya, karena
musyawarah tetap diperlukan untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Pada zaman dulu kesaksian seorang laki-laki
sebanding dengan dua orang perempuan. Bahkan dalam dalam ayat al-quran juga
diterangkan pada QS Al-Baqarah ayat 282. Menelaah dari jumlah perbandingan yang
berbeda ini dikarenakan pada saat itu lelakilah yang mendapatkan pendidikan
atau terpelajar sedangkan perempuan hanya berada di rumah sehingga kesakisannya
dianggap lemah. Oleh karena itu dibutuhkan seorang perempuan lagi untuk
mendukung kesaksian seorang perempuan tersebut. Tetapi dewasa ini kaum
perempuan sudah mendapatkan pendidikan dan terpelajar sehingga kesaksiannya
setara dengan seorang laki-laki. Dan bahkan jika dalam persidangan dihadapkan
pada seorang saksi perempuan yang terpelajar dengan lelaki yang tidak
terpelajar hal ini dapat terjadi sebaliknya yaitu membutuhkan seseorang yang
lain untuk memperkuat kesaksian lelaki tersebut. Pada hal ini Islam sangat
terbuka dengan sebab dan akibat.
2) Feminisme yang keliru
Seperti
yang telah disebutkan bahwa ada yang tidak setuju dengan gerakan feminisme
karena bentuk lain dari komunisme. Jika kita perhatikan tentang sejarah
perkembangan paham feminisme yang dapat kita lihat dari gelombang-gelombang
gerakan feminisme yang terjadi. Pada awal pergerakannya paham ini menuntut
adanya hak perempuan seperti kesempatan yang sama dalam pendidikan, gaji, dan
lain sebagainya. Kemudian yang kedua dan ketiga masih berjalan sesuai dengan
tujuan awal gerakan ini dibuat yaitu memperjuangkan hak perempuan untuk setara.
Sebaliknya hal-hal yang menyimpang sudah mulai terjadi seperti untuk
bernampilan sama dengan laki-laki misalnya saja legal untuk bertelanjang dada. Hal-hal
seperti inilah yang dikhawatirkan bahwa keberadaan paham feminisme dapat mengancam
agama.
Melihat dari paham feminisme dan
agama, gerakan feminisme itu sudah selayaknya dibalut dengan norma-norma yang
berlaku dalam agama karena sebenarnya agama sendiri pun telah mengajarkan
tentang feminisme. Yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan yang sama di mata
Tuhan. Lelaki dan perempuan mempunyai hak dan kemampuan yang sama. Dewasa ini
telah banyak kita jumpai kaum perempuan yang mempunyai kapabilitas yang sama
seperti laki-laki bahkan lebih unggul misalnya dalam menduduki suatu jabatan
tertentu. Oleh karena itu paradigma yang menjadikan perempuan sebagai warga
kelas dua perlu dihapuskan, lingkunganlah yang telah membunuh karakter
perempuan sehingga agama datang untuk memperbaiki kekeliruan tersebut.