27 Oktober 2011
Pagi ini seperti hari biasanya sebelum jam 7 pagi ku kayuh sepedaku ke arah timur. Tapi kali ini bukan menuju
sekolah, rute lebih jauh beberapa meter lagi ke timur. Dengan melawan arus,
yang sebagian besar menuju arah barat. Aku ragu, apakah memang benar ke arah
ini. Serta tak kulihat jua satu pun
penduduk sekolahku yang menuju arah sama sepertiku. Hanya adik kelas, tapi
tentu saja berlwanan arah denganku. Hingga beberapa saat, ku lihat segerombolan
anak yang ku kenal dari kejauhan. Wah, untung saja tidak salah. Lalu ku sapa
mereka, “Kembar!”. “Ya!” gerombolan itu menjawab sambil melambaikan
tangan. Lalu ku lanjutkan perjalanan,
hampir sampai di tempat tujuan. Seorang yang bertubuh tegap, sedang mengawasi
di depan gerbang. Sambil melihatku lalu ia berkata, “Bagus ya. Jalannya lewat
kiri terus!” dan aku balas kata-kata itu dengan wajah yang nyengir. Maksudnya
adalah menyidir diriku, yang dari tadi bersepeda di sisi kanan. Karena jarak
yang tidak terlalu jauh dengan hati-hati aku bersepada di sisi kanan. Karena
menurutku menyeberang resikonya besar, dan tidak efisien. Ups, yang ini jangan
ditiru ya. Sambil menunggu acara untuk memotivasi anak-anak kelas IX untuk
menghadapi ujian. Aku duduk-duduk sebentar di dekat teman-temanku, sambil melanjutkan
membaca novel yang mengingatkanku pada seseorang.
Acara
sudah dimulai, diawali dengan duduk yang berpindah-pindah. Awalnya aku dan
teman-teman sepakat duduk di depan tapi pak guru memberitahukan kalau laki-laki
duduk di depan. Oke oke. Acara dengan khidmat kami ikuti, sampai menuju
istirahat sebelumnya kami diajak untuk menutup mata membayangkan sesuatu.
Hingga akhirnya kami semua meneteskan air mata bahkan guru-guru juga. Setelah
itu sambil membuka mata, kami saling bermaaf-maafan. Lebih syahdu daripada
syawalan. Entah, rasanya dari hati yang paling dalam. Melihat saat-saat seperti
ini, aku berpikir bagaimana jika ku jadikan saat-saat seperti ini untuk
berdamai dengan teman lama. Yang sudah lama terjadi perang dingin di antara
kami. Sebelumnya saat syawalan kami juga berjabat tangan tapi hanya jabatan
yang melibatkan fisik bukan dari hati. Walau sebernarnya saat syawalan ku
berharap kami dapat berteman lagi. Tapi entah, hatiku sebenarnya memberontak.
Ingin seperti dulu menjadi sobat karib yang sangat dekat. Dulu juga pernah saat
mementaskan drama, kami seolah terlihat biasa saja. Terlihat begitu dekat,
karena peran yang kami mainkan. Lepas dari itu perang dingin masih tetap
berlanjut.
Tanggal
27 Oktober 2011 ini, semuanya berakhir. Dengan segenap hati kumpulkan
keberanianku untuk memulai menghentikan perang dingin ini. Sahabat-sahabat
lainku juga mendukung. Segera aku menuju ke arahnya. Agar keberanianku ini
tidak segera menguap. Sambil mendekati, ia juga melihat ke arahku. Kami bertemu
dan saling menumpahkan air mata.
“Din, maafin aku ya?!”, isakku.
“Iya, Put aku juga!”
Jabat tangan yang tulus dari hati kami lakukan.
Saling berpelukan dan meminta maaf. Akhirnya perang dingin usai.
***
Setelah
pulang dari acara motivasi, aku segera pulang. Di rumah hanya sendiri.
Ditinggal mama yang pergi naik haji. Dan
kakak yang datangnya sekali-sekali. Sebenarnya aku merasa lapar. Ingin beli
nasi tapi jam segini belum buka. Aduh, nasi goreng atau mi godog ya? Lalu ku
coba untuk beristirahat sebentar, karena diriku juga lagi sakit. Dan berangsur
mulai pulih. Sampai akhirnya tertidur. Tiba-tiba suara telepon mengejutkan aku.
Tante tetangga menelopon. Menanyakan keberadaanku. Khawatir sesuatu terjadi
padaku. Dan ku coba membuka pintu rumah, tante yang juga nampaknya lagi
khawatir. Langsung menghampiri.
“Kamu kemana tadi, Put?”sambut Tante Rini dengan
wajah cemas.
“Di kamar, lagi tidur. Ada apa?” jawabku.
“Oh. Makanya tadi tak panggil-panggil gak ada.”
“Hehe, habis pulang. Kecapekan terus tidur tante.”
Dengan wajah tersenyum malu.
Dan…
“Put!” suara Tante Mui dari arah rumahnya dan mulai
menghampiri.
“Ya!”
“Kamu sakit?”
“Gak kok, lagi gak fit aja Tant.” Ku coba berkata
seperti itu agar mereka tidak terlalu khawatir.
Kecemasan Tante Mui tidak jauh berbeda dengan Tante
Rini. Sambil menyodorkan sesuatu di tangannya.
Tante Mui berkata, “Nih, mumpung masih hangat!”
“Oh, makasih Tante!” seolah dapat membaca pikiranku
tadi sore tante memberikan mi godog yang sebelumnya ku inginkan.
“Kamu beneran gak apa-apa? Apa malam ini aku
temenin?”tawar Tante Mui penasaran.
“Enggak usah kok. Malam ini abang tidur di sini.” Ku
tolak tawaran Tante dengan halus. Ini ku lakukan agar tante tidak direpotkan
dengan keadaanku.
“Oh, ya sudah. Kalau ada apa-apa nanti telepon atau
sms ya!” perintah Tante Rini.
“Oke..Oke. Beres Tante!” jawabku.
Lalu mereka pergi meninggalkanku sendiri
di depan pintu. Setelah itu langsung ku tutup pintu dan ku kunci rapat, lalu ku
lepas kunci. Dan segera ku santap mi pemberian Tante Mui. Menjalani malam ku
buka akun pribadiku di jejaring sosial. Untuk menemani malam. Menyelesaikan
misi untuk menghapus nama temanku tadi siang dari daftar orang yang diblokir.
Kami pun –aku dan Dinda. Sudah saling berkomunikasi. Bercerita sana sini.
Seperdelapan malam, abang tak kunjung
datang. Ia berjanji akan tidur di rumah setelah dua malam aku tidur sendiri.
Tapi di luar sana ku dengar suara rintikan hujan. Jadikah abang malam ini tidur
di rumah bukan di kosnya lagi? Tapi aku tidak ingin memaksakan ia tidur di
rumah, mengingat jarak rumah dan kosnya lumayan jauh. Aku kasihan. Abang,
datangkah kau malam ini? Ku ambil Hp dan ku buat pesan.
“Tidak apa
kalau tidak jadi ke sini. Di sini hujan.” Pesanku. Lalu ku terima balasan:
“Benarkah? Kamu beranikan?”.
Akhirnya
pun malam ini aku sendiri lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar