Untitled
Di
sepertiga malam Vina mulai terjaga. Dengan segenap tenaga ia kumpulkan semua
nyawanya yang tadi sempat terbawa ke alam mimpi. Dan berlalu menuju kamar
mandi. Lalu, kembali ke kamarnya. Sambil bersimpuh di depan meja belajar lipat,
ditemani PR dan tugas sekolah serta segelas kopi hangat. Vina mulai membuka laptop di hadapannya.
Jemarinya pun berdansa, menekan huruf-huruf pada keyboard. Tak ada orang lain selain dirinya yang terjaga. Hanya
suara jangkrik samar-samar berbunyi. Sesekali terdengar bunyi kendaraan lewat
di jalan raya depan kompleknya. Serta suara jarum jam yang lebih mendominasi. Sambil
larut dalam tugas, sesekali ia teguk kopi hangatnya yang berangsur dingin. Satu
detik, satu menit, satu jam… dua jam…
“Hwam… akhirnya satu perkara
selesai!” diucapkan Vina sambil
mengangkat kedua tangan dan membusungkan dadanya.
Sudah menjadi kebiasaannya agar
tidak menunda jadwal pengumpulan tugas. Harus bisa membagi waktu antara sekolah
dan latihan. Akhir-akhri ini memang kegiatan Vina menjadi lebih padat. Sepulang
sekolah yang biasanya dilanjutkan dengan les atau tes pendalaman materi kini
disambung lagi dengan latihannya. Kejuaraan itu semakin dekat, ia bersama
teman-temannya berlatih keras untuk mempersembahkan yang terbaik. Inilah
kejuaaraan yang telah dijanjikan pelatihnya berbulan-bulan lalu. Kali pertama
juga Vina mengikuti kejuaraan ini. Dunia baru yang baru ia selami ketika masih
seumur jagung memakai seragam biru putih yang sebentar lagi akan menjadi kenangan.
Fajar
menjelang, ia pun mempersiapkan diri meyongsong masa depannya di sekolah.
Dengan sigap meyiapkan jadwal pelajaran lalu bergegas mandi. Setelah sarapan
dan pamitan dengan bundanya. Vina langsung meluncur bersama cylin, kendaraan
roda dua berwarna putih. Dikayuhnya dengan lihai. Sejurus kemudian gerbang
sekolah telah berada di hadapannya. Ia lalu turun dan menuntun cylin hingga
parkiran. Sambil memeriksa lagi kerapian dirinya, ia mendapati bagian ujung
tangan seragamnya terlepas dari kancingan. Tetap berjalan sambil mata yang
terus fokus pada tangan, tiba-tiba ia menghantam sesuatu. Bruk…
“Aduh!”
Suara yang berat itupun mengaduh.
Vina pun mengangkat kepalanya, pandangannya yang berjalan dari bawah hingga
atas tertahan pada satu titik. Seseorang bertubuh tegap, dan lebih tinggi
darinya sedang berdiri di hadapannya. Wajahnya yang terlihat segar dan putih
serta hidung yang mancung dan alis yang tidak terlalu tebal serta mata yang agak
sipit. Memperlihatkan ketampanannya. Vina pun terkejut ketika seseorang dari
belakang mengagetkannya. Belum sempat ia meminta maaf pada seseorang yang
mengenakan seragam putih abu-abu yang dibalut dengan almamater yang elegan.
Pria itupun segera berlalu dengan gulungan kertas putih yang digenggamnya.
“Hei,
Vin!” dengan suara sedikit menekan dan siku yang menyenggol lengan Vina.
“Ah,
elu Ni! Ngagetin gue aja, jatung gua mau copot nih!” respon Vina sedikit kesal.
“Ya
mohon mangap.” Jawab Yuni terkekeh.
“Yuk
cepetan masuk kelas. Hari ini kan ulangan!” dengan meletakkan tanganya di
pundak Vina, Yuni menggiring Vina menuju kelas.
“Wak!
Serius lu? Ulangan? Matika? Jam pertama?” tuding Vina pada Yuni.
“Iyaaaa
Mbaaak Vina! Lu lupa yah ada ulangan?”
Dengan
wajah masam Vina mengangguk.
“Alah,
tenang aja. Lu kan pinter. Pasti bisa kok!” support Yuni.
“Semoga
aja. Ya Tuhan tolong hamba-Mu yang malang ini!” batin Vina dengan
sungguh-sungguh diakhri menyapukan kedua tangan ke wajahnya.
Akhirnya kegiatan sekolah usai.
Berakhir pukul 15.30. berjalan berdampingan Vina dan Yuni berajalan di koridor
sekolah. Menuju gor sekolah
“Eh
gimana ulangan pagi tadi? Lancarkan?” tanya Yuni.
“Iya
lancar.” Jawab Vina datar.
“Katanya
udah selesai dikoreksi!”
Vina
diam saja tak bersemangat. Tak tahu harus bagaimana.
“Eh
itu Pak Rudi!” tunjuk Yuni dan menarik tangan Vina. Berlari menghampiri Pak
Rudi.
Vina
pun pasrah saja.
“Sore
Pak!” sapa Yuni, dan Vina menyapa dengan senyum manisnya.
“Ya
sore. Kok kalian belum pulang?”
“Ada
latihan silat Pak!” jawab Yuni
“Oh!”
“Eh
iya Pak boleh lihat hasil ulangan pagi tadi gak?”
“Besok
aja ya. Bareng sama temen-temen yang lain!” larang Pak Rudi.
“Yah
Pak. Nanti kepikiran terus, lalu kebawa mimpi. Terus yang lain jadi nggak
konsen. Terus masak harus nunggu dua hari lagi?” rayu Yuni.
“Hmm…
kamu ini ada-ada saja alasannya!” ujar Pak Rudi sambil menggeleng sedikit.
“Boleh..
Ya Pak…Ya Pak…!” dengan wajah sedikit memelas yang dibuat-buat Yuni merayu
gurunya itu.
“Oke.
Tapi jangan lama-lama ya. Nih!” sambil menyerakan pada muridnya ini.
“Yey,
Pak guru emang teopebegete!” sambil menebarkan senyummnya Yuni menerima secarik
kertas dari tangan gurunya.
“Apaan
tuh teopebegete?” heran Pak Rudi.
“Top
banget Pak!”
Vina yang dari tadi mematung kini
terpancing jua untuk melihat hasilnya. Lalu telunjuknya berhenti. Vina Aryani
Saputri. 98. Yuni Rahmawati 96. Vina pun tersentak kaget.
“Terima
kasih ya Tuhan atas rahmat-Mu!” ucapnya syukur pada Tuhan.
“Tuh
gua bilang apa! Lu emang cerdas Vin!”
Vina
mejawab dengan seyum manisnya sesaat.
“Terima
kasih ya Pak! Pergi dulu. Permisi!” mereka pun meneruskan perjalanan menuju gor
sekolah.
Sampai di depan pengumuman.
“Eh…
stop stop dulu!” tahanYuni. Vina hanya mengikuti tingkah temannya yang hiper
ini.
“Nih
poster, warnanya ngejreng amat.” Sambil meneliti isinya lalu diam sesaat.
“Nah!”
suaranya yang keras mengejutkan Vina yang dari tadi meleparkan pandangannya ke
lapangan basket.
“Vin
liat deh, ni baru ada pengumumannya. Tinggal dua minggu lagi mulai
turnamennya!”
Sontak
Vina pun terpancing lagi untuk memperhatikan.
“Harus
cepet-cepet omong ma pelatih ni! Eh ya temen-temen yang lain dah sms ni cepetan
latihannya katanya. Ayo buruan!” kata pertama yang dikelurakan Vina. Lalu
mereka berlali
---
Hari yang H datang jua. Setelah
berbagai kerepotan mengurusi persyaratan dan lelah mengahampiri. Vina dan
teman-temanya menguatkan diri.
“Jangan
lupa, jaga kesehatan ya prend!” ingatkan Puput pada kawan-kawannya.
Kembali malamnya Puput memberi
pesan, siang hingga malam mereka akan di sana bertanding. Vina, Rini, dan Yuni
masih berdegup kencang jantungnya. Hal baru, tantangan pertama yang akan mereka
hadapi dalam tiga hari. Akhirnya Tuhan menginzinkan, mereka dipercaya untuk
mengahadapi. Setelah dua tahun memasuki dunia persilatan. Berseberangan dengan
Puput yang telah makan asam garamnya kegiatan semacam ini.
---
“Kita
ke sana naik apa?” cemas Yuni.
“Entar,
dari sekolah ada yang nganter kok!” jawab Puput tenang.
“Nah,
tuh… ada kendaraannya!” tuding Rini.
“Ya
udah, tunggu apa lagi. Cepat naik, sebelum ketinggalan upacara pembukaan!”
perintah Puput. Lalu segerombolan gadis itu meluncur ke tempat pertandingan.
Mereka mengurusi ini itu sendiri.
Hanya sedikit saran pelatih dan keikut sertaan perannya. Sampai di kawasan
pertandingan. Suasana riuh dengan suara pecing yang ditendang, semua peserta
sibuk mempersiapkan diri. Melatih tendangan, pukulan jurus terbaik mereka.
Segerombolan gadis yang masih asing dengan tempat itu mengambil tempat di sudut
ruangan. Duduk berjejer, bersandar di dinding. Bagai anak ayam kehilangan
induknya mereka berlatih sendiri. Pelatih yang sekaligus menjabat sebagai
menejer mereka sedang menjadi juri.
“Adoohh…
laper banget!” jerit Yuni sambil memegangi perutnya.
“Iya
nih, prihatin banget deh kita ni!” Rini menambahi.
Kawan-kawan
yang lain juga mengangguk dan diam. Setuju dengan pendaapat kedua temannya.
Tiba-tiba seseorang yang bertubuh tegap dengan wajah tampannya, tak asing lagi
bagi Vina berdiri di depan mereka. Lalu menyapa lembut…
“Hei..
kalian dari SMP 1 Jaya? Anak buahnya Bang Tio?”
“He
eh” dengan terpaksa mereka mengangguk, apa-apaan anak buahnya bang Tio.
“Aku
dimintai buat dampingin kalian di sini.” Ujarnya dengan mata yang indah.
Selama pertandingan berjalan mereka
didampingi pria yang dipanggil oleh teman-temannya Arsya. Yuni, Rini, Vina dan
Puput bergantian bertanding. Dengan jenis kejuaraan yang berbeda pula satu
persatu maju bergantian. Tinggallah Vina dan bang Asrya mendukung teman-teman
yang lain dari kejauhan. Teriakan yang
menghebohkan.
“Eh,
iya kak. Yang tempo hari saya tabrak Kakak kan?”
“Yang
mana?” ucap Arysa yang masih melihat ke arah arena pertandingan.
“Yang
nggak sengaja ketabrak itu lo!” perjelas Vina.
“Oh
itu. Kamu ya ternyata!” barulah bang Arsya mengadapkan padangannya ke Vina dan
mereka saling bertemu pandang.
“Hehehe..
iya. Maaf ya nggak sengaja. Mau minta maaf tapi Kakak udah bablas duluan!”
“Ya
nggak apa-apa. Aku juga kemarin lagi buru-buru. Cuma ngaterin poster tentan
lomba ini aja kok!” lalu ia lemparkan pandangannya ke arena pertadingan begitu
juga Vina.
“Hm..
Kak bentar lagi aku maju, dukung aku ya! Pelatihku nggak tanggung jawab nih
nggak kasih support !”mulai berdiri
dan menginggalkan bang Arsya.
“Ok.
Aku dukung kok pastinya!” sambil mengepalkan tangannya di depan dada.
---
“Huft..
akhirnya tiga hari bersakit-sakit selesai juga.”
“Iya
rampung juga tapi rempong deh boookk…!” usil Yuni menirukan aksen dan gaya
seorang waria.
“Tapi
kan kalian udah dapet oleh-oleh buat dibawa pulangkan?” hibur bang Arysa.
“Iya
sih, tapi masa bang Tio nggak kasih selamat?” tanya Vina kesal.
“Tenang
dia kasih selamat kok. Coba buka hp kalian masing-masing!”
“Eh
iya, ada sms ucapan selamatnya” ujar Vina. Dan yang lain berkata dan mendapat
sms yang sama.
“Setelah
ini kita makan-makan. Sebagai hadiah atas kemenangan kalian!”
Serontak
mereka berlompatan kegirangan.
“Terima
kasih ya Kak Arysaaa…” ucap mereka kompak.
Satu pelajaran lagi bagi Vina
kesungguhan akan bebuah manis. Lalu diam-diam hatinya mulai begetar ketika bang
Arysa memanggilnya. J
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar