Kamis, 16 Agustus 2012

Apa??

Sudah kenyang diriku terhadap kata-kata:
“Tuliskan cita-cita mu!”
“Tuliskan target tahun pencapaianmu!”
Sering sudah aku mengikuti pelatihan bersama motivator-motivator ternama. Memang pada awalnya membuatku semakin bergairah dan semangat untuk menyusun asa dalam secarik kertas dan menempelnya pada sudut yang sering terlihat olehku. Bahkan buku novel, film atau apapun yang mengandung perjuangan disertai kerja keras dan semangat tidak aku lewatkan. Demi memompa semangat dalam darahku ini.
Selain faktor diri sendiri, kemampuan
seseorang untuk bisa mencapai atau menjadi apa juga bergantung pada lingkungan di sekitarnya. Tepatnya, mungkin kurang lebih satu tahun yang lalu. Saat aku akan mengahadapi ujian nasional sekolah menengah pertama. Berbagai persiapan ku lakukan jauh-jauh hari sebelum hari H. Yang awalnya masih dua ratus hari, berganti menjadi seratus, Sembilan puluh, delapan puluh dst. Bukan hanya kami yang akan menjalani ujian nasional yang prihatin. Pihak sekolahpun juga berusaha semaksimal mungkin agar murid-muridnya mendapatkan hasil yang terbaik bukan semata dinyatakan lulus.
Dan aku pun juga begitu. Semua usaha dan doa telah ku kerahkan semampu yang ku bisa. Keinginan hendak sekolah dimana, mendapat nilai ebatanas murni berapa, dan usaha-usaha apa yang ku lakukan untuk mencapai semua itu tidak luput aku tuliskan. Lalu, aku tempel di depan cermin. Sehingga aku selalu melihatnya setiap saat. Tak berhenti sampai di situ. Kata-kata motivasi aku torehkan di buku-buku pelajaran, meja belajar dan seterusnya. Ku tulis dengan tinta merah beserta tanda seru (!) berjajar banyak di belakangnya. Menandakan aku harus tetap fokus pada tujuan awal. Yang terlebih penting membanggakan orang tua ku minimal tidak kecewa terhadap hasil akhirku nanti. 
Namun,seiring waktu berjalan. Ketika menerima hasil. Apa yang tertuliskan kacau sudah. Harapan-harapan yang sudah ku tulis rapi satu per satu mulai pupus. Tak ada satu pun dari harapanku yang terjadi.  Dan sekarang ketika aku duduk di bangku awal sekolah mengah atas. Aku mulai merajut impian baru dan ku tulis rapi juga. Tetapi tidak pada secarik kertas melainkan dalam ingatanku. Ku lakukan agar tidak terus sakit hati L pada harapan yang tidak terkabul. Serta tidak berlinang air mata lagi ketika aku melihat harapan yang sia. Dan aku harus tetap berbaik sangka pada Tuhan dengan yang diberikan-Nya padaku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar