Kamis, 31 Mei 2018


Lama nggak posting , ini akibat kurang baca dan kritis makanya tulisan gini. Walau gak menang, setidaknya tulisanku adalah juara di blog pribadiku sendiri lol. Selamat membaca

***
Ada Aku dalam Dirimu
Karena ditiap Perbedaan ada Persamaan yang Menyatukan Jiwa
Sumber : http://theapprenticeacademy.co.uk

Konflik adalah hal yang tidak asing dengan keseharian kita. Ia tidak bisa dihilangkan, hanya saja semua bergantung pada pilihan kita untuk membuat pemicunya semakin besar atau merendam. Semua aspek dapat mengundang terjadinya sebuah gesekan baik antar individu maupun kelompok. Bahkan isu terhadap politik identitas dapat dengan mudah menyulut perpecahan yang terjadi. Isu sara merupakan hal yang sangat sensitif sekaligus menarik untuk ditelisik. Baik kebudayaan ataupun agama adalah hal yang lekat terhadap kehidupan kita sejak lahir, mereka lah yang akrab dalam keseharian dan telah menjadi teman dalam masa perkembangan kita. Tidak mengherankan jika rasa cinta terhadap identitas pribadi seperti suku, agama, atau ras adalah harga mati bagi sebagian besar orang.

Sedari dulu Indonesia terkenal akan pelbagai suku yang beragam, kehidupan bergama yang harmonis nan berdampingan, dan toleransi kehidupan yang menjadikan identitas Indonesia sesungguhnya. Siapapun yang berada dilingkungan ini tentu siap untuk membela. Jika Anda berada di posisi orang-orang ini apakah Anda marah jika suku atau agama Anda dihina? Walaupun orang tersebut tidak benar-benar merendahkan suku atau agama Anda? Misalnya saja untuk dijadikan bahan materi agar candaannya menjadi laris? Masih hangat beritanya terdengar oleh kita yaitu kasus tentang dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh beberapa komika tersohor di tanah air ini beberapa waktu lalu. Oleh sebagian orang mereka dituduh telah melakukan penistaan agama karena membawa agama tidak pada tempatnya dan menjadikan bahan candaan bahkan cenderung penghinaan. Tetapi benarkah tindakan mereka ini sangat tidak dibenarkan?
Sebelum menjadi masyarakat yang mudah untuk menghakimi orang lain terhadap tindakan tertentu yang mungkin hanya sebagian kecil yang ketahui, mulailah memandang suatu hal tidak hanya dari satu perspektif. Pada dasarnya negara Indonesia telah menyediakan aturan yang cukup untuk mengtur keteraturan dalam negaranya termasuk perihal sara. Mereka yang menuduhkan penistaan ini beracuan pada pasal 156 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500" (Pratama, 2017). Pernyataan ini yang  membuat sebagian orang tersulut emosi dan menjadikannya dasar untuk menuntut mereka yang dianggap melakukan penghinaan terhadap suatu agama tertentu. Lalu apakah adanya materi agama dalam sebuah komedi adalah bentuk baru atau bukan. Komedi yang selalu kita pahami adalah hal yang memberikan kesan lucu dan menghibur, tetapi dibalik semua kelucuan yang membangkitkan selera humor orang yang melihat atau mendengernya, komedi merupakan salah satu bentuk lawakan yang mempunyai pesan, bisa berupa menyindir atau membuat kritik terhadap tingkah laku yang cacat dalam keseharian masyarakat. Komedi yang sebenarnya baik untuk menyeimbangkan kehidupan kita, antara menjadi orang yang serius dan santai, bahkan tingkat intelegensi seseorang dapat diukur dari selera humornya. Bahkan menjadi check and balance terhadap kebijakan pemerintah dan kejadian yang ada dalam masyarakat. Melihat lagi tentang pernyataan Ge Pamungkas yang mengangkat bahwa terjadi perbedaan pandangan orang mengenai bencana alam yang menimpa melihat dari sisi agama apa yang sedang dianut oleh pemimpin masyarakatnya pada saat musibah itu terjadi. Hingga ia mempertanyakan dimana letak sayangnya Tuhan ketika memberikan sebuah bencana alam pada sekelompok masyarakat. Namun, sebenarnya humor yang dilemparkan Ge bukanlah hanya sekedar mempertanyakan letak keadilan Tuhan. Tetapi krititisasi yang membeberkan fakta, bahwa masyarakat kita masih “pilih kasih” atau berat sebelah dalam penilaian dalam memandang kinerja seseorang hanya karena latar belakang identitasnya pribadi, bukan dari hasil nyata apa yang ia lakukan. Komedi satir atau komedi yang melontarkan masalah kegetiran dan kegelisahan yang dialami masyarakat terhadap perlakuan pemerintah atau pun mayarakat yang cendrung memberi ketimpangan terhadap satu golongan, yang penymapainnya dikemas dengan cerita yang lucu. Seperti kasus di atas yaitu dibawakan dalam sebuah acara Standup Comedy.
Memang tidak mudah untuk membuat sebuah lawakan, apalagi jika itu menyangkut sara. Tentunya walau sekecil apapun dapat melukai hati penganut taat tiap agama manapun jika menyinggung masalah sensitif seperti kepercayaan pribadinya. Hal yang semula damai dapat berubah menegangkan jika bersinggungan masalah ini. Isu sara sangat penting untuk diredam, mengingat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam latar belakang budaya yang menuntut bisa saling bekerja sama dalam melakukan pembangunan untuk Indonesia yang terbaik. Ada sekitar 1331 kategori suku yang harus dijaga kerharmonisannya menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, yang harus bekerja sama dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu untuk membangun kemajuan di Indoneisa. Kemungkinan perpecahan sangat mudah untuk diangkat dan dijadikan isu pengkonflikan, dilansir dari laman berita BBC Indonesia pada Desember 2017, bahwa politik sara lebih buruk daripada politik uang karena akan berdampak timbulnya perpecahan. Sehingga masalah yang berbau sara sangat sensitif untuk dibawa tetapi menarik untuk ditelisik. Mencari persamaan yang ada antara daerah dan daerah lain serta memaknai perbedaan sebagai sebuah kekayaan bukan sebagai hinaan karena berbeda.
Dengan melihat berbagai masalah diatas apakah kita sebagai generasi penerus bangsa akan bersikap apatis. Memilih untuk diam, karena merasa lebih aman untuk tidak ikut campur. Akan tetapi jika kita ingin terus hidup di bumi pertiwi ini dengan segala kearifannya sudah barang tentu hal-hal luhur yang baik harus terus dipertahankan keberadaannya. Apa yang terjadi pada situasi sekarang ini adalah hasil pembelajaran turun temurun dari orang tua kita. Orang tua – orang tua kitalah yang saat ini sedang menduduki suatu jabatan tertentu atau pun posisi penting lainnnya. Tetapi tentu kita sadar bahwa tak selamanya kursi-kursi itu akan terus ditempati oleh orang tua kita. Sadar atau tidak, semua itu akan menjadi tanggung jawab kita. Masyarakat Indonesia sekarang diisi oleh penduduk berusia remaja yang jumlahnya terus meningkat. Oleh karena itu dimasa yang akan datang kitalah, yaitu pemuda-pemudi Indonesia yang akan menduduki kursi-kursi penting di pemerintahan dan segala aspek penting ilmu lainnya lima hingga sepuluh tahun yang akan datang. Namun apakah keadaannya sudah ideal? Yaitu penduduk remaja Indonesia yang tinggal di Indonesia sekarang ini tengah bersiap untuk pembangunan Indonesia kedepan. Kenyataannya usia remaja yang menggunakan narkoba menyumbang sekitar 27,32 persen dari total jumlah penduduk Indonesia (Faisol, 2017). Sedangkan persentase kumulatif AIDS tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun (31,4%). Sementara itu, untuk usia 15-19 tahun adalah sebesar 2,7 persen (Ditjen PP & PL, Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Berdasarkan data diatas tindakan apakah yang tepat untuk membuat keadaan menjadi kembali ideal? Langkah-langkah yang perlu dipersiapkan oleh pemuda usia produktif Indonesia ialah tidak hanya menjadi generasi penerus namun juga agen perubahan. Perubahan yang menuju Indonesia yang siap untuk bersaing di era global namun tetap berpengangan teguh pada prinsip luhur yang diwariskan dari nenek moyang. Perlu adanya suatu wadah atau platform untuk mengumpulkan dan mempererat persaudaraan di antara para pemuda. Kompetisi nasional yang melibatkan anak bangsa dari berbagai belahan Indonesia sudah cukup baik untuk saling mengenal satu sama lain. Tetapi masih ada kekurangannya, yaitu masih saja terdapat ketimpangan antara kaum yang merasa dirinya superior untuk menekan mereka yang merasa infterior. Memang tindakannya tidak terlihat secara kasat mata. Tetapi secara tidak langsung telah mempertahankan batas antara remaja. Perlu kita sadari, walaupun pendidikan Indonesia sekarang sudah maju, bahkan keunggulan putra bangsa di kancah internasional diakui keberadaan dan kehebatannya tetapi di negri sendiri masih ada mereka bahkan untuk membaca saja tidak bisa meskipun usianya sudah setara pelajar menengah pertama. Kegiatan Jambore dan sebagainya cukup efektif untuk mengenalkan dan merangkul persahabatan antar daerah. Tetapi ketika diadakannya kompetisi tingkat nasional, kecendrungan untuk melihat lawan di kompetisi sebagai musuh sejati terus terpatri dalam diri. Seharusnya yang patut disadari adalah pesaing sesungguhnya bukanlah saudara sendiri, melainkan dunia internasional. Pemerintah terkait serta pemangku kepentingan yang lain juga sebaiknya turut membantu dalam mendukungnya kegiatan seperti ini. Tak hanya itu, untuk para pemangku kekuasaan sekarang juga tidak sepatutnya mengecilkan pendengaran terhadap suara anak muda yang membawa semangat cita-cita pembangunan. Diperlukannya kegiatan semacam ini juga penting untuk menyebarkan dan berbagi ilmu pengetahuan antara pemuda daerah perkotaan terhadap mereka yang tinggal di pelosok negri. Pemerataan pendidikan, pengenalan budaya juga berguna untuk menimbulkan sikap tenggang rasa dan persaudaraan antara pemuda agar perasaan saling memiliki tercipta. Bukan merasa mudah untuk mengkotak-kotakan diri hanya dengan ditemukannya sebuah perbedaan kecil.
Pada akhirnya lawakan yang membawa agama tidak melulu dipandang sebagai penistaan. Tetapi instrospeksi diri, apakah selama ini kita adalah termasuk orang yang sudah adil terhadap orang lain tanpa memandang latar belakang suku, agama, dan rasnya. Serta peran pemuda sangat krusial untuk membangun jembatan persaudaraan yang bertujuan untuk lebih memilih untuk mencari persamaan agar terciptanya perasaan bahwa ada hal yang sama pada diri kita dalam tubuh orang lain sehingga akan merasakan hal yang sama jika tubuh dan perasaan orang lain disakiti kitapun dapat merasakan perihnya dan menerima perbedaan dengan cara menghargai, bukan membuatnya sebagai lelucon untuk ditertawakan. Hal ini pun dapat berjalan beriringan dengan dukungan oleh semua stakeholder baik orang tua, pemerintah, maupun pemangku kepentingan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar