Lama nggak posting , ini akibat kurang baca dan kritis makanya tulisan gini. Walau gak menang, setidaknya tulisanku adalah juara di blog pribadiku sendiri lol. Selamat membaca
***
Ada
Aku dalam Dirimu
Karena ditiap Perbedaan ada Persamaan yang Menyatukan Jiwa
Karena ditiap Perbedaan ada Persamaan yang Menyatukan Jiwa
Sumber : http://theapprenticeacademy.co.uk
Konflik adalah
hal yang tidak asing dengan keseharian kita. Ia tidak bisa dihilangkan, hanya
saja semua bergantung pada pilihan kita untuk membuat pemicunya semakin besar
atau merendam. Semua aspek dapat mengundang terjadinya sebuah gesekan baik
antar individu maupun kelompok. Bahkan isu terhadap politik identitas dapat
dengan mudah menyulut perpecahan yang terjadi. Isu sara merupakan hal yang
sangat sensitif sekaligus menarik untuk ditelisik. Baik kebudayaan ataupun agama
adalah hal yang lekat terhadap kehidupan kita sejak lahir, mereka lah yang
akrab dalam keseharian dan telah menjadi teman dalam masa perkembangan kita.
Tidak mengherankan jika rasa cinta terhadap identitas pribadi seperti suku,
agama, atau ras adalah harga mati bagi sebagian besar orang.
Sedari dulu Indonesia
terkenal akan pelbagai suku yang beragam, kehidupan bergama yang harmonis nan
berdampingan, dan toleransi kehidupan yang menjadikan identitas Indonesia
sesungguhnya. Siapapun yang berada dilingkungan ini tentu siap untuk membela.
Jika Anda berada di posisi orang-orang ini apakah Anda marah jika suku atau
agama Anda dihina? Walaupun orang tersebut tidak benar-benar merendahkan suku
atau agama Anda? Misalnya saja untuk dijadikan bahan materi agar candaannya
menjadi laris? Masih hangat beritanya terdengar oleh kita yaitu kasus tentang
dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh beberapa komika tersohor di tanah
air ini beberapa waktu lalu. Oleh sebagian orang mereka dituduh telah melakukan
penistaan agama karena membawa agama tidak pada tempatnya dan menjadikan bahan
candaan bahkan cenderung penghinaan. Tetapi benarkah tindakan mereka ini sangat
tidak dibenarkan?
Sebelum
menjadi masyarakat yang mudah untuk menghakimi orang lain terhadap tindakan
tertentu yang mungkin hanya sebagian kecil yang ketahui, mulailah memandang
suatu hal tidak hanya dari satu perspektif. Pada dasarnya negara Indonesia
telah menyediakan aturan yang cukup untuk mengtur keteraturan dalam negaranya
termasuk perihal sara. Mereka yang menuduhkan penistaan ini beracuan pada pasal
156 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan
rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 4.500" (Pratama,
2017) .
Pernyataan ini yang membuat
sebagian orang tersulut emosi dan menjadikannya dasar untuk menuntut mereka
yang dianggap melakukan penghinaan terhadap suatu agama tertentu. Lalu apakah adanya
materi agama dalam sebuah komedi adalah bentuk baru atau bukan. Komedi yang
selalu kita pahami adalah hal yang memberikan kesan lucu dan menghibur, tetapi
dibalik semua kelucuan yang membangkitkan selera humor orang yang melihat atau
mendengernya, komedi merupakan salah satu bentuk lawakan yang mempunyai pesan,
bisa berupa menyindir atau membuat kritik terhadap tingkah laku yang cacat
dalam keseharian masyarakat. Komedi yang sebenarnya baik untuk menyeimbangkan
kehidupan kita, antara menjadi orang yang serius dan santai, bahkan tingkat
intelegensi seseorang dapat diukur dari selera humornya. Bahkan menjadi check and balance terhadap kebijakan
pemerintah dan kejadian yang ada dalam masyarakat. Melihat lagi tentang
pernyataan Ge Pamungkas yang mengangkat bahwa terjadi perbedaan pandangan orang
mengenai bencana alam yang menimpa melihat dari sisi agama apa yang sedang
dianut oleh pemimpin masyarakatnya pada saat musibah itu terjadi. Hingga ia
mempertanyakan dimana letak sayangnya Tuhan ketika memberikan sebuah bencana
alam pada sekelompok masyarakat. Namun, sebenarnya humor yang dilemparkan Ge
bukanlah hanya sekedar mempertanyakan letak keadilan Tuhan. Tetapi krititisasi
yang membeberkan fakta, bahwa masyarakat kita masih “pilih kasih” atau berat
sebelah dalam penilaian dalam memandang kinerja seseorang hanya karena latar
belakang identitasnya pribadi, bukan dari hasil nyata apa yang ia lakukan. Komedi
satir atau komedi yang melontarkan masalah kegetiran dan kegelisahan yang
dialami masyarakat terhadap perlakuan pemerintah atau pun mayarakat yang
cendrung memberi ketimpangan terhadap satu golongan, yang penymapainnya dikemas
dengan cerita yang lucu. Seperti kasus di atas yaitu dibawakan dalam sebuah
acara Standup Comedy.
Memang tidak
mudah untuk membuat sebuah lawakan, apalagi jika itu menyangkut sara. Tentunya
walau sekecil apapun dapat melukai hati penganut taat tiap agama manapun jika
menyinggung masalah sensitif seperti kepercayaan pribadinya. Hal yang semula
damai dapat berubah menegangkan jika bersinggungan masalah ini. Isu sara sangat
penting untuk diredam, mengingat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam
latar belakang budaya yang menuntut bisa saling bekerja sama dalam melakukan
pembangunan untuk Indonesia yang terbaik. Ada sekitar 1331 kategori suku yang
harus dijaga kerharmonisannya menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, yang
harus bekerja sama dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu untuk membangun
kemajuan di Indoneisa. Kemungkinan perpecahan sangat mudah untuk diangkat dan
dijadikan isu pengkonflikan, dilansir dari laman berita BBC Indonesia pada
Desember 2017, bahwa politik sara lebih buruk daripada politik uang karena akan
berdampak timbulnya perpecahan. Sehingga masalah yang berbau sara sangat
sensitif untuk dibawa tetapi menarik untuk ditelisik. Mencari persamaan yang
ada antara daerah dan daerah lain serta memaknai perbedaan sebagai sebuah
kekayaan bukan sebagai hinaan karena berbeda.
Dengan melihat
berbagai masalah diatas apakah kita sebagai generasi penerus bangsa akan
bersikap apatis. Memilih untuk diam, karena merasa lebih aman untuk tidak ikut
campur. Akan tetapi jika kita ingin terus hidup di bumi pertiwi ini dengan
segala kearifannya sudah barang tentu hal-hal luhur yang baik harus terus
dipertahankan keberadaannya. Apa yang terjadi pada situasi sekarang ini adalah
hasil pembelajaran turun temurun dari orang tua kita. Orang tua – orang tua
kitalah yang saat ini sedang menduduki suatu jabatan tertentu atau pun posisi
penting lainnnya. Tetapi tentu kita sadar bahwa tak selamanya kursi-kursi itu
akan terus ditempati oleh orang tua kita. Sadar atau tidak, semua itu akan
menjadi tanggung jawab kita. Masyarakat Indonesia sekarang diisi oleh penduduk
berusia remaja yang jumlahnya terus meningkat. Oleh karena itu dimasa yang akan
datang kitalah, yaitu pemuda-pemudi Indonesia yang akan menduduki kursi-kursi
penting di pemerintahan dan segala aspek penting ilmu lainnya lima hingga
sepuluh tahun yang akan datang. Namun apakah keadaannya sudah ideal? Yaitu
penduduk remaja Indonesia yang tinggal di Indonesia sekarang ini tengah bersiap
untuk pembangunan Indonesia kedepan. Kenyataannya usia remaja yang menggunakan
narkoba menyumbang sekitar 27,32 persen dari total jumlah penduduk Indonesia (Faisol, 2017) . Sedangkan
persentase kumulatif AIDS tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun (31,4%).
Sementara itu, untuk usia 15-19 tahun adalah sebesar 2,7 persen (Ditjen PP
& PL, Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Berdasarkan data
diatas tindakan apakah yang tepat untuk membuat keadaan menjadi kembali ideal?
Langkah-langkah yang perlu dipersiapkan oleh pemuda usia produktif Indonesia
ialah tidak hanya menjadi generasi penerus namun juga agen perubahan. Perubahan
yang menuju Indonesia yang siap untuk bersaing di era global namun tetap
berpengangan teguh pada prinsip luhur yang diwariskan dari nenek moyang. Perlu
adanya suatu wadah atau platform untuk
mengumpulkan dan mempererat persaudaraan di antara para pemuda. Kompetisi
nasional yang melibatkan anak bangsa dari berbagai belahan Indonesia sudah
cukup baik untuk saling mengenal satu sama lain. Tetapi masih ada
kekurangannya, yaitu masih saja terdapat ketimpangan antara kaum yang merasa
dirinya superior untuk menekan mereka
yang merasa infterior. Memang
tindakannya tidak terlihat secara kasat mata. Tetapi secara tidak langsung
telah mempertahankan batas antara remaja. Perlu kita sadari, walaupun
pendidikan Indonesia sekarang sudah maju, bahkan keunggulan putra bangsa di
kancah internasional diakui keberadaan dan kehebatannya tetapi di negri sendiri
masih ada mereka bahkan untuk membaca saja tidak bisa meskipun usianya sudah
setara pelajar menengah pertama. Kegiatan Jambore dan sebagainya cukup efektif
untuk mengenalkan dan merangkul persahabatan antar daerah. Tetapi ketika
diadakannya kompetisi tingkat nasional, kecendrungan untuk melihat lawan di
kompetisi sebagai musuh sejati terus terpatri dalam diri. Seharusnya yang patut
disadari adalah pesaing sesungguhnya bukanlah saudara sendiri, melainkan dunia
internasional. Pemerintah terkait serta pemangku kepentingan yang lain juga
sebaiknya turut membantu dalam mendukungnya kegiatan seperti ini. Tak hanya
itu, untuk para pemangku kekuasaan sekarang juga tidak sepatutnya mengecilkan
pendengaran terhadap suara anak muda yang membawa semangat cita-cita
pembangunan. Diperlukannya kegiatan semacam ini juga penting untuk menyebarkan
dan berbagi ilmu pengetahuan antara pemuda daerah perkotaan terhadap mereka
yang tinggal di pelosok negri. Pemerataan pendidikan, pengenalan budaya juga
berguna untuk menimbulkan sikap tenggang rasa dan persaudaraan antara pemuda
agar perasaan saling memiliki tercipta. Bukan merasa mudah untuk mengkotak-kotakan
diri hanya dengan ditemukannya sebuah perbedaan kecil.
Pada akhirnya
lawakan yang membawa agama tidak melulu dipandang sebagai penistaan. Tetapi
instrospeksi diri, apakah selama ini kita adalah termasuk orang yang sudah adil
terhadap orang lain tanpa memandang latar belakang suku, agama, dan rasnya. Serta
peran pemuda sangat krusial untuk membangun jembatan persaudaraan yang
bertujuan untuk lebih memilih untuk mencari persamaan agar terciptanya perasaan
bahwa ada hal yang sama pada diri kita dalam tubuh orang lain sehingga akan
merasakan hal yang sama jika tubuh dan perasaan orang lain disakiti kitapun
dapat merasakan perihnya dan menerima perbedaan dengan cara menghargai, bukan
membuatnya sebagai lelucon untuk ditertawakan. Hal ini pun dapat berjalan
beriringan dengan dukungan oleh semua stakeholder
baik orang tua, pemerintah, maupun pemangku kepentingan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar