Jumat, 02 Desember 2016

RM #1


Membiasakan yang benar, bukan membenarkan kebiasaan

Hari ini aku baru aja jemput Mama di bandara. Hari ini Mama pulang dari pendidikan dan pelatihannya di Jakarta selama kurang lebih 5 hari, pendidikan dan pelatihan tentang
revolusi mental. Aku sempat bertanya,
“Mah, kenapa sih harus ada diklat lagi? Terus kenapa diklatnya tentang revolusi mental?”
“ Ya ini salah satu program Jokowi tentag *aku lupa Mama nyebutin apa*”
Sejak beberapa hari sebelumnya ketika Mama masih di Jakarta, dalam telepon pun aku bertanya bahwa untuk apa sih gunanya revolusi mental? Mama menjawab sekenanya, intinya untuk memperbaiki mental anak muda yang sekarang cendrung merosot, khususnya dalam mempersiapkan karyawan yang mempunyai sikap kepribadian yang baik.
Singkat cerita,  di perjalanan pulang aku bercerita banyak hal hingga salah satunya tentang sikap mahasiswa sekarang yang cendrung kurang menghormati dosen.
“Nah, makanya itu Put perlu diadakannya revolusi mental untuk membangun sikap seperti orang dulu yang sangat menghormati orang tua.”, jawab Mama singkat.
...
Dari sini aku baru sadar kenapa sih revolusi mental benar-benar urgent untuk diterapkan. Ku rasa semuanya sedang baik-baik saja. Tapi flashback terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dewasa ini revolusi mental harus diterapkan dan ditegaskan di semua lini. Dari hasil survei internasional yang dilakukan tentang hal yang baik, Indonesia cendrung rendah sedangkan untuk hal-hal negatif cendrung tinggi.
Kita ambil contoh yang paling sederhana, aku sempat menonton sebuah video yang menanyangkan bahawa seorang bocah sekolah dasar berani melawan dan mengatai gurunya. Padahal niat guru itu baik dan tidak ada unsur kekerasan di situ. Sang guru justru terlihat tenang dan sabar. Bandingkan dengan zaman dulu, zaman kakakku atau bahkan ibuku ketika masih sekolah. Mana ada murid yang berani melawan guru, sedikit saja tindakan nakal, siap-siap penggaris besi melayang. Sekarang ketika guru berlaku tegas hingga marah dan menjewer, undang-undang tentang HAM dilayangkan. Serba salah.
Oke itu contoh yang aku lihat di dunia maya. Sekarang contoh nyata di hadapanku adalah tidak sedikit mahasiswa yang mulai tidak menghormati dosen. Mahasiswa hanya takut terhadap kehilangan jumlah kehadirannya di perkuliahan bukan terhadap kehilangan ilmu yang dapat mereka serap dari dosen. Apalagi sekarang ini perhatian kita sering terusik dengan hadirnya smartphone . Kadang aku juga merasa bersalah untuk melakukan aksi cuek terhadap dosen dengan memainkan gadget tapi percayalah kalau itu tidak benar-benar urgent maka aku memilih untuk tidak melakukannya. *jadi maaf kalo slow respon pas jam kuliah* haha kan sayang bayar kuliah mahal-mahal tapi gak dimanfaatin semaksimal mungkin.
Tetapi menurutku contoh di atas tidak terlalu berbahaya. Yang berbahaya adalah ketika kamu berhadapan langsung dengan dosen tapi bicaramu tidak sopan. Sudah tidak ada rasa hormat dengan mengakatakan hal yang tidak pantas kepada dosen. *haha.. ya kalau misal dosennya nyebelin dan cocok buat dikata-katain, saranku santai aja dan masa bodoh aja*
Dari penjabaran di atas maka revolusi mental perlu diadakan untuk memperbaiki hal-hal seperti ini. Untuk lebih jelasnya ada informasi yang aku dapetin dari http://revolusimental.go.id/ yaitu mengenai mengapa sih revolusi mental ini menjadi sangat penting:
1)      Krisis nilai dan karakter
2)      Krisis pemerintahan (pemerintah ada tetapi tidak hadir,masyarakat menjadi objek pembangunan)
3)      Krisis relasi sosial : gejala intoleransi
Aku rasa sekian dulu untuk penyinggungan revolusi mentalnya, inshaallah tulisan tulisan tentang revolusi mental lainnya akan menyusul dan inshaallah lebih berbobot ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar