Membiasakan yang benar, bukan membenarkan kebiasaan
Hari ini aku baru aja jemput Mama di bandara. Hari ini
Mama pulang dari pendidikan dan pelatihannya di Jakarta selama kurang lebih 5
hari, pendidikan dan pelatihan tentang
revolusi mental. Aku sempat bertanya,
revolusi mental. Aku sempat bertanya,
“Mah, kenapa sih harus ada diklat lagi? Terus kenapa
diklatnya tentang revolusi mental?”
“ Ya ini salah satu program Jokowi tentag *aku lupa Mama
nyebutin apa*”
Sejak beberapa hari sebelumnya ketika Mama masih di
Jakarta, dalam telepon pun aku bertanya bahwa untuk apa sih gunanya revolusi
mental? Mama menjawab sekenanya, intinya untuk memperbaiki mental anak muda yang
sekarang cendrung merosot, khususnya dalam mempersiapkan karyawan yang
mempunyai sikap kepribadian yang baik.
Singkat cerita, di
perjalanan pulang aku bercerita banyak hal hingga salah satunya tentang sikap
mahasiswa sekarang yang cendrung kurang menghormati dosen.
“Nah, makanya itu Put perlu diadakannya revolusi mental
untuk membangun sikap seperti orang dulu yang sangat menghormati orang tua.”,
jawab Mama singkat.
...
Dari sini aku baru sadar kenapa sih revolusi mental
benar-benar urgent untuk diterapkan.
Ku rasa semuanya sedang baik-baik saja. Tapi flashback terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dewasa ini
revolusi mental harus diterapkan dan ditegaskan di semua lini. Dari hasil survei
internasional yang dilakukan tentang hal yang baik, Indonesia cendrung rendah
sedangkan untuk hal-hal negatif cendrung tinggi.
Kita ambil contoh yang paling sederhana, aku sempat
menonton sebuah video yang menanyangkan bahawa seorang bocah sekolah dasar
berani melawan dan mengatai gurunya. Padahal niat guru itu baik dan tidak ada
unsur kekerasan di situ. Sang guru justru terlihat tenang dan sabar. Bandingkan
dengan zaman dulu, zaman kakakku atau bahkan ibuku ketika masih sekolah. Mana
ada murid yang berani melawan guru, sedikit saja tindakan nakal, siap-siap
penggaris besi melayang. Sekarang ketika guru berlaku tegas hingga marah dan
menjewer, undang-undang tentang HAM dilayangkan. Serba salah.
Oke itu contoh yang aku lihat di dunia maya. Sekarang
contoh nyata di hadapanku adalah tidak sedikit mahasiswa yang mulai tidak menghormati
dosen. Mahasiswa hanya takut terhadap kehilangan jumlah kehadirannya di
perkuliahan bukan terhadap kehilangan ilmu yang dapat mereka serap dari dosen. Apalagi
sekarang ini perhatian kita sering terusik dengan hadirnya smartphone . Kadang aku juga merasa bersalah untuk melakukan aksi
cuek terhadap dosen dengan memainkan gadget
tapi percayalah kalau itu tidak benar-benar urgent maka aku memilih
untuk tidak melakukannya. *jadi maaf kalo slow respon pas jam kuliah* haha kan
sayang bayar kuliah mahal-mahal tapi gak dimanfaatin semaksimal mungkin.
Tetapi menurutku contoh di atas tidak terlalu berbahaya.
Yang berbahaya adalah ketika kamu berhadapan langsung dengan dosen tapi
bicaramu tidak sopan. Sudah tidak ada rasa hormat dengan mengakatakan hal yang
tidak pantas kepada dosen. *haha.. ya kalau misal dosennya nyebelin dan cocok
buat dikata-katain, saranku santai aja dan masa bodoh aja*
Dari penjabaran di atas maka revolusi mental perlu
diadakan untuk memperbaiki hal-hal seperti ini. Untuk lebih jelasnya ada
informasi yang aku dapetin dari http://revolusimental.go.id/ yaitu mengenai mengapa sih revolusi mental ini menjadi
sangat penting:
1)
Krisis
nilai dan karakter
2)
Krisis
pemerintahan (pemerintah ada tetapi tidak hadir,masyarakat menjadi objek
pembangunan)
3)
Krisis
relasi sosial : gejala intoleransi
Aku rasa sekian dulu untuk penyinggungan revolusi
mentalnya, inshaallah tulisan tulisan tentang revolusi mental lainnya akan
menyusul dan inshaallah lebih berbobot ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar